Selasa, 24 Desember 2013

TIPO-MORFOLOGI PEMUKIMAN KAUMAN DI MALANG




BAB I
PENDAHULUAN

Pada masa pra – kolonial atau masa kerajaan Islam di Pulau Jawa, telah muncul satu bentuk rencana tata kota, yang mengharuskan pembangunan suatu perkampungan di belakang Masjid Agung (Santoso, 2011). Perkampungan ini merupakan tempat tinggal bagi para santri. Penataan perkampungan di belakang Masjid Agung terdapat di hamper seluruh kota – kota besar di Pulau Jawa. Perkampungan ini disebut dengan Kauman. Kodiran (1995) menyebutkan, Kauman adalah nama sebuah perkampungan yang terletak di sekitar Masjid Agung. Nama kauman berasal dari pa-kaum-an, Pa=tempat, kaum dari kata Qoimuddin (penegak agama islam, jadi kauman adalah tempat para penegak agama/para ulama.
Penataan kota yang telah muncul sejak jaman pra – kolonial ini kemudian dilanjutkan oleh Belanda. Pada saat Belanda menduduki kota – kota besar di Indonesia, mereka membentuk rencana tata kota untuk memunculkan potensi dan keuntungan kota. Rencana tata kota yang dibentuk oleh Belanda semasa kependudukannya, merujuk pada penataan kota yang telah ada sebelumnya.
Kota Malang merupakan salah satu kota yang merupakan bagian kekuasan kerajaan Islam di Jawa, yang kemudian diduduki oleh Belanda. Rencana tata kota Malang pada masa kolonial membagi permukiman penduduk kota menjadi blok – blok tertentu. Karsten, yang merupakan arsitek kenamaan pada masa tersebut, merencanakan penataan permukiman Kota Malang berdasarkan tata kota yang telah ada sebelumnya, dan etnis yang ada. Orang Belanda tinggal di dekat pusat pemerintahan serta jalan-jalan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Orang Cina yang sebagian besar merupakan pedagang perantara tinggal disekitar pasar, yang disebut sebagai daerah Pecinan, sedangkan orang Pribumi setempat tinggal di gang-gang disekitar daerah alon-alon (Handinoto,1996).
Perkampungan Kauman juga ditemukan di Kota Malang. Pada daerah alun – alun Kota Malang, berdiri Masjid Agung atau yang dinamakan Masjid Jami’ dengan perkampungan penduduk di belakangnya. Sama seperti kampung Kauman pada kota lain, kampung Kauman yang ada di kota Malang identik dengan kegiatan keagamaan. Hal yang unik pada Kampung Kauman Kota Malang adalah adanya Gereja Emanuel yang terletak bersebelahan dengan Masjid Jami’. Pada perkampungan ini banyak ditemukan rumah – rumah tinggal dengan bentuk bangunan kolonial, mengingat letak permukiman yang dekat dengan pusat kota pada pemerintahan Belanda.
Rumah tinggal penduduk Kampung Kauman mencirikan pribadi dan karakter pemiliknya. Bagian dari bangunan yang dapat memunculkan karakter dan ditangkap oleh manusia adalah fasade bangunan. Fasade merupakan bagian bangunan yang pertama kali ditangkap oleh mata dan mencirikan langgam dan gaya arsitektur yang digunakan. Fasade memberikan gambaran tentang fungsi- fungsi bangunan, selain itu fasade juga berfungsi sebagai alat perekam sejarah peradaban manusia. dengan mengamati dan mempelajari desain fasade suatu bangunan, kita bisa mempelajari kondisi sosial budaya, kehidupan spiritual, bahkan keadaan ekonomi dan politik pada masa tertentu. Fasade bangunan rentan terhadap perubahan terkait dengan kondisi iklim dan kemajuan zaman.
Bentuk – bentuk fasade bangunan juga berpengaruh terhadap kualitas visual kawasan maupun kota. Fasade menjadi sangat penting, terkait dengan aspek keindahan yang ditangkap oleh mata. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang yang akan menjadikan Kauman sebagai kawasan berpotensi wisata, fasade bangunan rumah tinggal yang ada merupakan aspek yang penting dan berpengaruh.
Penelitian ini membahas mengenai tipologi fasade bangunan rumah tinggal di Kampung Kauman. Pada tipologi bangunan yang ada, dimungkinkan adanya perubahan fasade yang terjadi, sehingga aspek perubahan tersebut akan dibahas pula melalui pembahasan morfologi fasade yang ada. Penelitian ini memberikan konrtibusi bagi masyarakat, mengenai informasi tipologi fasade rumah tinggal Kampung Kauman, sehingga masyarakat mengenal potensi kawasan yang dimiliki. Kontribusi ini terkait pula dengan rencana pemerintah dalam pemanfaatan Kampung Kauman sebagai kawasan pariwisata, dengan kekayaan arsitektur
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Tipologi
Tipologi  adalah  studi   tentang  tipe.  Tipe  adalah  kelompok  dari   objek  yang  memiliki   ciri  khas struktur  formal  yang sama. Tipologi merupakan studi tentang pengelompokkan objek  sebagai   model,  melalui   kesamaan  Bentuk  dan  Struktur.  Tipologi   adalah  studi  tentang  tipe dengan  kegi atan  kategorisasi   dan  klasifikasi   untuk  menghasil kan  tipe.  Kegiatan  kategori   dan  tipe tersebut sekali gus dapat dilihat keragaman dan keseragamannya  (Iswati  2003: 124).
Tipologi merupakan suatu konsep mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kemiripan sifat-sifat dasar yang berusaha memilah atau mengklasifikasikan bentuk keragaman dan kesamaan jenis. Dalam hal ini, tipologi merupakan hasil elaborasi karakteristik arsitektur, yang tersusun dari berbagai unsur kultural lokal dan luar yang spesifik dalam suatu struktur klasifikasi, baik secara klasifikasi fungsi, geometrik, maupun langgam/gaya (Amiuza 2006)
Menurut Sukada dalam Sulistijowati (1991), ada tiga langkah dalam menetapkan suatu tipologi, yaitu sebagai berikut: 1. Menetapkan bentuk-bentuk dasar yang ada dalam setiap pada objek arsitektural; 2. Menentapkan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap objek arsitektural berdasarkan bentuk dasar yang ada dan melekat pada objek arsitektural tersebut; dan 3. Memahami proses perkembangan bentuk dasar tersebut sampai pada perwujudannya saat ini.

2.1.2 Teori  Tipo - morfologi
Tipomorfolgi   adalah  metode  untuk  mengetahui   tpe-tipe  arsitektural.  Menurut Moudon (1994), tipomorfolgi  adalah pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan keruangan yang mana studi  tersebut merupakan gabungan dari  studi  tipologi  dan  morfologi . Menurut  Schultz  (1980)  di konsepkan  bahwa  tipomorfologi   mendeskripsi kan  kelompok  objek berdasarkan  atas  kesamaan  sifat -sifat  dasar  yang  berupa  memilah  ataupun  mengklasifikasi kan bentuk keragaman dan kesamaan  jenis
2.1.3   Tinjauan mengenai Rumah Tinggal
Rumah tinggal adalah sebagai mekanisme kehidupan. Menurut UU No. 40 Tahun 1992, Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga; Rumah dipahami sebagai tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan, beristirahat, melakukan aktivitas bersama keluarga. Rumah sebagai tempat berlindung harus memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Rumah dibentuk dari aktivitas penghuninya, dan menggambarkan bagaimana kepribadian manusia yang menghuninya. Sebuah rumah bisa dibangun setidaknya dengan memiliki 4 fungsi, yaitu
1. Sebagai tempat tinggal yang nyaman ;
2. Sebagai sumber ibadah ;
3. Sebagai sumber ilmu ; dan
4. Sebagai sumber pendapatan.
Menurut Rapoport dalam Sjaifoel (2008), rumah merupakan suatu gejala struktural yang bentuk dan organisasinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya yang dimilikinya, serta erat hubungannya dengan penghuninya. Rumah banyak ditentukan oleh nilai – nilai, budaya penghuninya, iklim, dankebutuhan pelindung, bahan bangunan, konstruksi dan teknologi, karakter tapak, ekonomi, pertahanan, serta agama.
2.1.4        Arsitektur Kolonial Belanda
 Menurut Akihari (1990), Handinoto & Soehargo (1996), dan Nix (1994), bahwa arsitektur kolonial Belanda terdiri atas dua periode, yaitu :
·      Arsitektur sebelum abad XVIII
·      Arsitektur setelah abad XVIII
Variasi komposisi muka bangunan ditunjukan pada masing-masing gaya bangunan arsitektur kolonial Belanda yang ada di Hindia Belanda pada umumnya ditentukan oleh elemen kepala bangunan berupa bentukan atap dan penggunaan-penggunaan gevel. Variasi pada badan bangunan lebih banyak ditemukan dan mengacu pada spesifikasi gaya – gaya tertentu, antara lain kolom, jenis, dan material bukaan, detail ventilasi, pembatas bangunan (serambi,pagar), maupun luifel atau teritis yang berfungsi sebagai shading.
Menurut Nix (1953) dalam Yulia (2007:11-14), gaya bangunan terdiri dari enam macam, yakni :
1.      Indische Empire Style
     Indische Empire Style, adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke 18 dan 19, sebelum terjadinya “westernisasi” pada kota – kota di Indonesia di awal abad ke 20. Pada mulanya gaya arsitektur tersebut muncul di daerah pinggiran kota Batavia, sekitar pertengahan abad ke 17, tapi kemudian berkembang di daerah urban, dimana banyak terdapat penduduk Eropa.
     
     Arsitektur kolonial yang berkembang di Indonesia pada abad ke – 18 sampai abad ke – 19 sering disebut dengan arsitektur Indische Empire Style. Gaya ini merupakan hasil percampuran antara teknologi, bahan bangunan dan iklim yang ada di Hindia Belanda dengan gaya Empire Style yang sedang berkembang di Perancis. Percampuran ini sebagian besar memadukan gaya Indische Empire beserta detail – detail bangunan yang berciri khas Neo Klasik dan Art Neuveau, dengan dekorasi gaya Cina dengan ragam hias Arsitektur Jawa. Gaya ini diperkenalkan di Indonesia pada jaman Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808 – 1811).
Ciri – ciri umum gaya arsitektur Indische Empire Style  yakni tidak bertingkat, atap perisai, berkesan monumental, halamannya sangat luas, massa bangunannya terbagi atas bangunan pokok / induk dan bangunan penunjang yang dihubungkan oleh serambi atau gerbang, denah simetris, serambi muka dan belakang terbuka dilengkapi dengan pilar batu tinggi bergaya Yunani (orde Corintian, Ionic, Doric), antar serambi dihubungkan oleh koridor tengah, round-roman arch pada gerbang masuk atau koridor pengikat antar massa bangunan, serta penggunaan lisplank batu bermotif klasik di sekitar atap.
Tampak atau muka bangunan simetris mengikuti denah bangunan yang simetris. Elemen muka bangunan yang memperkuat gaya bangunan Indische Empire Style ini antara lain bentukan kolom dan material pembentuknya, detail bukaan pada entrance, serta detail pada atap.
Komposisi horizontal bangunan lebih kuat dibandingkan vertikal bangunan, dengan proporsi void yang lebih besar dibanding solid – nya.

2     Voor 1900
          Gaya Voor ini berkembang mulai awal tahun 1900, coraknya hampir sama dengan Indische Empire Style, tetapi mengalami beberapa perubahan pada penggunaan bahan bangunan seperti besi dan terdapat penambahan elemen – elemen yang bertujuan untuk lebih menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Terdapat penambahan luifel / teritis yang terbuat dari seng gelombang dengan sudut kemiringan yang lebih landai dan ditopang oleh konsol besi cor bermotif keriting, kolom kayu atau besi cor berdimensi lebih kecil dan langsing dari kolom terdahulu, penambahan balustrade / pagar besi atau batu pada bagian tengah dan tepi listplank atau variasi gevel di atas serambi muka.
    
3    NA 1900
          Aliran ini dipengaruhi aliran romantis Eropa. Denah yang masih simetris tidak mempengaruhi tampak muka bangunan. Tampak bangunan utama mulai asimetri. Dilengkapi dengan serambi muka terbuka memanjang dengan kolom sudah mulai menghilang / menyempit diganti dengan penonjolan denah sampai bidang muka bangunan.
          Muka bangunan menonjolkan elemen vernakular arsitektur Belanda berupa gavel, luifel/teritis, dan masih terdapat variasi mahkota batu pada ujung gavel dan tepi listplank beton, dan masih terdapat balustrade.
4   Romantiek
          Corak arsitektur NA 1900 dengan pengaruh romantik Eropa yang semakin kuat. Penambahan detail dekoratif kaya pada hampir seluruh bagian bangunan dan elemen ruang luar.
          Elemen bangunan yang membentuk muka bangunan yang membedakan dengan gaya bangunan kolonial yang lain antara lain adanya penambahan dentils, brackets, dan/atau modillions pada bagian bawah atap, penambahan cresting, finial, weathervane, dan/atau balustrade pada bubungan atap serta penambahan pada bagian bangunan yang lain. Ciri – ciri utama adalah banyaknya penggunaan lengkung, bentuk atap tinggi (kemiringan antara 45o-60o) dengan penutup genting.
          Komposisi bangunan gaya romantiek ini lebih kuat pada vertikal bangunan, sehingga kesan bangunan menjadi tinggi.
5   Gaya tahun 1915 – an,
          Ciri – ciri utama pada gaya yang nampak pada muka bangunan antara lain penggunaan plat beton sebagai atap pada teritis – teritis dan koridor penghubung, adanya bidang bouvenlicht di antara garis atap utama dan badan bangunan, elemen dari besi cor semakin berkurang, variasi mahkota atap terbatas pada bagian ujung pertemuan bubungan dan jurai, atap tinggi berpenutup genting, serta penambahan elemen vernakular Belanda seperti penambahan satu atau dua tower beratap yang menempel pada bagian muka bangunan utama dan ada pula yang menggunakan dormer-dormer atau bukaan lain seperti tower yang terletak menonjol pada kemiringan atap utama bangunan dan memiliki atap tersendiri.

6 Tahun 1930 – an.
          Gaya ini terpengaruh aliran arsitektur modern yang berkembang di Belanda seperti Amsterdam School dan De Stijl, yang keduanya memiliki konsep yang berbeda. Amsterdam school menitik beratkan pada orisinalitas dan alamiah, peranan arsitektur vernakular masih cukup besar. De stijl menitik beratkan pada fungsi.
          Ciri – ciri umum Amsterdam school adalah bangunan terbuat dari bahan dasar alam dan menghasilkan bentukan masif dan plastis, ornamentasi skulptural dan pembedaan warna material beragam mempunyai peran esensial dalam desain, bentuk atap lebih runcing (sudut kemiringan antara 45o-60o).
          Ciri – ciri De stijl adalah permainan volume bangunan berbentuk kubus, bahan dasar pabrikasi, gavel horizontal tanpa dekorasi serta lepas dari permainan warna.
          Gaya bangunan 1930-an ini membentuk muka bangunan yang lebih sederhana dibandingkan dengan gaya bangunan yang ada sebelumnya. Komposisi elemen vertikal bangunan masih lebih banyak pada bagian kepala bangunan, sedangkan elemen horisontal bangunan yang dipengaruhi oleh denah terlihat moduler. Detail muka bangunan tidak terlalu dominan pada gaya bangunan ini.
2.1.5        Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang tahun 1914-1940
Secara garis besar perkembangan arsitektur kolonial di Malang tidak berbeda dengan perkembangan arsitektur di Hindia Belanda pada kurun waktu yang sama.Gaya arsitektur yang disebut sebagai ”Indische Empire” yang berkembang sampai akhir abad ke 19, juga terdapat di Malang, terutama sekali pada gedung-gedung pemerintahan seperti gedung Asisten Residen di alon-alon pusat kota Malang (sekarang sudah hancur). Hanya saja sebelum tahun 1900 an Malang masih merupakan sebuah kota kabupaten kecil, sehingga bangunan pemerintahan tidak begitu banyak disana. Oleh sebab itu peninggalan arsitektur dengan gaya ”Indische Empire” ini sekarang sangat jarang dijumpai di Malang. Walaupun ada, tempatnya harus dicari di daerah sekitar alon-alon kota, karena disanalah dulu merupakan inti kota Malang dimasa lalu. Sekarang daerah disekitar alon-alon kota justru merupakan daerah yang punya nilai ekonomi yang tinggi, sehingga otomatis juga merupakan suatu daerah yang cepat berkembang/berubah. Sayang sekali karena hal-hal diatas maka asitektur dengan gaya ”Indische Empire” ini di Malang sekarang boleh dikatakan sudah tidak tersisa sama sekali
Hampir semua bangunan kolonial yang tersisa di Malang sekarang dibangun setelah tahun 1900 (sebagian besar dibangun setelah tahun 1920 an selaras dengan perkembangan kotanya)., yang diistilahkan sebagai arsitektur kolonial modern.Arsitektur kolonial yang cukup besar, yang dibangun setelah tahun 1900 di Malang.
Bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada jaman yang bersamaan dengan iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-el9emen tradisional setempat, yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk yang khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri (Trianingrum 2006:24).
Handinoto (1996: 163) menyebutkan bahwa,bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di B elanda pada waktu yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri.
Perkembangan gaya bangunan yang pada era ini, mencapai puncaknya pada 1915-an, akan tetapi masih banyak sekali elemen dari bangunan-bangunan era sebelumnya, yang digunakan sebagai elemen wajah bangunan dari era ini, seperti penggunaan gable/gevel, jenis, bahan, maupun ornamen dari era sebelumnya. Kemudian yang menonjol pada era ini adalah bentukan atap tradisional, yang menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan kolonial dengan budaya lokal.
Sebagian besar bangunan umum sebelum th. 1920 an kebanyakan dibangun disekitar alon-alon, karena pusat kotanya masih terletak disana. Jumlahnya tidak terlalu banyak karena kota Malang masih belum mengalami perkembangan yang pesat. Gaya arsitektur ”Indische Empire” pada tahun-tahun ini sudah menghilang
2.1.5 Defenisi Fasade Bangunan
Fasade merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan (Krier, 1988: 122). Fasade bukan hanya menyangkut bagaimana cara untuk medapatkan “persyaratan alami yang ditentapkakan oleh organisasi dan ruang dibaliknya. Fasade menyampaikan keadaan budaya saat bangunan itu dibangun; fasade mengungkap kriteria tatanan dan penataan, dan berjasa memberikan kemungkinan dan kreativitas dalam ornamentasi dan dan dekorasi.
Akar kata „fasade (façade) diambil dari kata latin „facies’  yang merupakan sinonim dari „face’ (wajah) dan „appearance’ (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan wajah sebuah bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang menghadap jalan.
Sebagai suatu keseluruhan, fasade tersusun dari elemen tunggal, suatu kesatuan tersendiri dengan kemampuan untuk mengekspresikan d iri mereka sendiri. Elemen-elemen tersebut- alas, jendela, atap dan sebagainya -karena sifat alaminya merupakan benda-benda yang berbeda sehingga memiliki bentuk, warna dan bahan yang berbeda (Krier, 1988: 123).
2. Komponen Fasade
Fasade adalah representasi atau ekspresi dari berbagai aspek yang muncul dan dapat diamati secara visual. Dalam konteks arsitektur kota, fasade bangunan tidak hanya bersifat dua dimensi saja akan tetapi bersifat tiga dimensi yang dapat merepresentasikan masing-masing bangunan tersebut dalam kepentingan publik (kota) atau sebaliknya. Untuk itu komponen fasade bangunan yang diamati meliputi: Krier (1983: 61 – 66).
a. Gerbang dan Pintu Masuk (Entrance)
Saat memasuki sebuah bangunan dari arah jalan, seseorang melewati berbagai gradasi dari sesuatu yang disebut “publik”. Posisi jalan masuk dan makna arsitektonis yang dimilikinya menunjukan peran dan fungsi bangunan tersebut. Pintu masuk menjadi tanda transisi dari bagian publik (eksterior) ke bagian privat (interior). Pintu masuk adalah elemen pernyataan diri dari penghuni bangunan. Terkadang posisi entrance memberi peran dan fungsi demonstratif terhadap bangunan. Lintasan dari gerbang ke arah bangunan membentuk garis maya yang menjadi datum dari gubahan. Di sini dapat diamati apakah keseimbangan yang terjadi merupakan simetri mutlak atau seimbang secara geometri saja.

b. Zona Lantai Dasar
Zona lantai dasar merupakan elemen urban terpenting dari fasade. Alas dari sebuah bangunan, yaitu lantai dasarnya, merupakan elemen perkotaan terpenting dari suatu fasade. Karena berkaitan dengan transisi ke tanah, sehingga pemakaian material untuk zona ini harus lebih tahan lama dibandingkan dengan zona lainnya.Lantai dasar memiliki suatu makna tertentu dalam kehidupan perkotaan. Karena daerah ini merupakan bagian yang paling langsung diterima oleh manusia, seringkali lantai dasar menjadi akomodasi pertokoan dan perusahaan-perusahaan komersil lainnya.
c. Jendela dan pintu masuk ke bangunan.
Jendela dan pintu dilihat sebagai unit spasial yang bebas. Elemen ini memungkinkan pemandangan kehidupan urban yang lebih baik, yaitu adanya bukaan dari dalam bangunan ke luar bangunan. Fungsi jendela sebagai sumber cahaya bagi ruang interior, yaitu efek penetrasi cahaya pada ruang interior. Jendela juga merupakan bukaan bangunan yang memungkinkan pemandangan dari dan ke luar bangunan. Selain memenuhi kebutuhan fungsionalnya, jendela juga dapat menjadi elemen dekoratif pada  bidang dinding.
Pintu memainkan peran yang menentukan dalam konteks bangunan, karena pintu mempersiapkan tamu sebelum memasuki ruang, karena itu makna pintu harus dipertimbangkan dari berbagai sudut pandang (Krier, 1988 : 96). Kegiatan memasuki ruang pada sebuah bangunan pada dasarnya adalah suatu penembusan dinding vertikal, dapat dibuat dengan berbagai desain dari yang paling sederhana seperti membuat sebuah lubang pada bidang dinding sampai ke bentuk pintu gerbang yang tegas dan rumit
Posisi pintu pada sebuah bangunan sangat penting untuk lebih mempertegas fungsi pintu sebagai bidang antara ruang luar dan ruang dalam bangunan. Karena letak atau posisi sebuah pintu sangat erat hubungannya dengan bentuk ruang yang dimasuki, dimana akan menentukan konfigurasi jalur dan pola aktivitas di dalam ruang.
d. Pagar Pembatas (railling)
Suatu pagar pembatas (railling)  dibutuhkan ketika terdapat bahaya dalam penggunaan ruangan. Pagar pembatas  juga merupakan pembatas fisik yang digunakan jika ada kesepakatan-kesepakatan sosial mengenai penggunaan ruang.
e. Atap dan Akhiran Bangunan.
Ada 2 macam tipe atap: yaitu tipe atap mendatar dan atap (face style) yang lebih sering dijumpai yaitu tipe atap menggunung ( alpine style). Atap adalah bagian atas dari bangunan. Akhiran atap dalam konteks fasade di sini dilihat sebagai batas bangunan dengan langit. Garis langit (sky-line) yang dibentuk oleh deretan fasade dan sosok bangunannya, tidak hanya dapat dilihat sebagai pembatas, tetapi sebagai obyek yang menyimpan rahasia dan memori kolektif warga penduduknya.
f. Ornamen pada Fasade.
 Ornamen merupakan kelengkapan visual sebagai unsur estetika pada fasade bangunan. Ornamentasi pada fasade, selain sebagai unsur dekoratif bangunan juga meruapakan daya tarik Ornamen
Ornamen adalah salah satu karya seni dekoratif yang biasanya dimanfaatkan untuk menambah keindahan suatu benda atau produk, atau merupakan suatu karya seni dekoratif (seni murni) yang berdiri sendiri, tanpa terkait dengan benda/produk fungsional sebagai tempatnya

2.2 Metode Penelitian
Studi yang dilakukan ini secara umum menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan tipologi. Pendekatan tipologi ini dipakai untuk mengklasifikasikan objek ke dalam tipe tertentu. Objek studi yang diambil, yaitu rumah tinggal kolonial Belanda di Kauman, yang dibangun pada periode masa penjajahan Belanda. Lokasi studi berada di perkampungan kota yang terdapat di kecamatan Klojen
Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menelusuri history masa lalu pemukiman kauman di Kota Malang. dimana penelitian kualitatif dengan pendekatan historis merupakan penelaahan dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis (Arikunto, 2003, p. 332)

2.2.1.      Penentuan Populasi Dan Lokasi Sampel
1.      Populasi Sampel Penelitian
Populasi  di tentukan berdasarkan pembatasan bahwa lokasi penelitian merupakan kawasan di mana ada kumunitas Kauman hidup dengan segala aktifitas sehari- hari dengan demikian populasi ini di batasi meliputi areal pemukiamannya saja yang terletak di kecamatan.Klojen. jumlah populasi yang ada di kauman adalah 279
 

2.      Sampel Penelitian
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Non Probabilitas dengan teknik pengambilan sampel purposif (purposial sampling) dimana sumber sampel akan ditentukan terlebih dahulu dengan pertimbangan dibutuhkan data yang lebih bervariatif.dalam penentuan sampel pada pemukiman kauman di malang yaitu mengkaji mengenai bangunan Kolonial yang ada di malang khususnya di kauman pada periode tahun 1914-1940. jumlah sampel yang di ambil adalah berjumlah 22
adapun kriteria pengambilan sampel adalah :
a.       Penghuni adalah pemilik rumah tersebut
b.      Masyarakat sekitar sampel
c.       Key Person
d.      Penelitian Terdahulu

2.2.2. Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah elemen-elemen fasade bangun yang dapat di cermati secara visual elemen-elemnen ini terdiri dari :
a.         Atap dan Akhiran
b.        Jendela Pintu
c.         Zona Lantai Dasar
d.        Ornamen


BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

3.1    Sejarah Kota Malang
Kota Malang merupakan salah satu daerah yang memperoleh pengaruh yang cukup besar pada masa kependudukan Belanda di Indonesia. Pada masa kependudukan Belanda di Kota Malang, diterbitkan Undang-undang Gula (suikerwet), Undang-undang Agraria (agrarischewet), dan keputusan desentralisasi yang membantu Kota Malang untuk melakukan pembangunan secara besar-besaran dan mengubah Kota Malang sebagai kotamadya setelah sebelumnya berstatus kabupaten. Rencana perkembangan Kota Malang ini didukung pula oleh seorang perencana kota kenamaan pada masa tersebut yaitu Ir. Herman Thomas Karsten.
Selama masa pengembangan kota tersebut, Bangsa Belanda tetap mendominasi berbagai aspek pemerintahan, industri, perdagangan, dan pertahanan. Dengan didasarkan pada rencana pengembangan kota oleh Karsten, Alun-alun diletakkan sebagai pusat kota, yang juga merupakan civic centre. Pusat kontrol pemerintahan dibangun di sekitar alun-alun. Pola permukiman terbentuk di sekitar alun-alun menurut pengelompokan masyarakat.
Di Kota Malang, pola pengelompokkan diterbitkan oleh pembangunan daerah perumahan yang didasarkan pada kelompok etnis yang ada. Bangsa Belanda yang ada di Kota Malang tinggal di dekat pusat pemerintahan serta jalan-jalan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Orang Cina yang ada di Kota Malang yang sebagian besar merupakan pedagang tinggal di sekitar pasar, yang disebut sebagai daerah Pecinan. Dan orang pribumi setempat tinggal di gang-gang skitar alun-alun (Handinoto,1996). Pola penyebaran permukiman di Malang sampai tahun 1914 adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang1914-1939) :
                         1.            Daerah permukiman orang Eropa terletak di sebelah Barat Daya dari alun – alun Talun, Tongan, Sawahan, dan sekitarnya.Selain itu juga terdapat di sekitar Kayutangan, Oro – oro Dowo, Celaket, Klojen Lor, dan Rampal.
                         2.            Daerah permukiman orang Cina terdapat di sebelah tenggara dari alun – alun (sekitar Pasar Besar). Daerah orang Arab di sekitar mesjid.
                         3.            Daerah orang pribumi kebanyakan menempati daerah kampung sebelah selatan alun – alun, yaitu daerah kampung Kebalen, Penanggungan, Jodipan, Talun, dan Klojen Lor.
                         4.            Daerah militer terletak di sebelah timur daerah Rampal.
Dalam perkembangan Kota Malang pada masa kependudukan Belanda, Kota Malang mengalami perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya rencana perkembangan kota (Bouwplan) yang merngarah pada pengendalian bentuk kota yang merujuk pada upaya perluasan. Rencana pengembangan ini terdiri dari 8 tahapan yang dilaksanakan dalam kurun waktu 15 tahun. Pada setiap tahapan pengembangan ini, sasaran pengembangan ditujukan secara pada masing – masing aspek pembangunan kota.
Pada tahapan Bouwplan I, pengembangan diarahkan pada pembangunan perumahan bagi golongan orang Eropa pada daerah Rampal dan Celaket. Pada tahapan Bouwplan II, pengembangan diarahkan pada pembentukan pusat pemerintahan baru di kawasan Tugu Malang. Pada tahapan Bouwplan III, pengembangan dilakukan pada pembuatan kompleks permukiman masyarakat Eropa di Kota Malang. Pada tahapan Bouwplan IV, pengembangan dilakukan pada pembangunan perumahan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Pada tahapan Bouwplan V, penngembangan diarahkan pada perluasan kawasan perumahan masyarakat Eropa di Kota Malang. Pada tahapan Bouwplan VI, pengembangan dilakukan pada perataan perluasan kota. Pada tahapan Bouwplan VII, pengembangan dilakukan dengan pembangunan lanjutan bouwplan V. Dan pada tahapan Bouwplan VIII, pengembangan diarahkan pada penyediaan kawasan industri Kota Malang (Gambar 3.1.) .



Gambar 3. 1. Letak – letak daerah perluasan Kota Malang
 (Bouwlpan I s/d VII, yang dimulai dari tahun 1917 – 1935)
Sumber : Handinoto (1996)

3.2    Kampung Kauman, Malang
Kawasan objek penelitian terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen Kota Malang, atau biasa disebut Kauman. Kawasan ini dekat dengan alun – alun, yang merupakan pusat Kota Malang. Kampung Kauman merupakan permukiman penduduk yang unik, dengan lokasi yang selalu berada di belakang Masjid Agung. 
                                                                                                                                                             Gambar 3.2 Lokasi wilayah Penelitian
Kampung Kauman terpilih sebagai lokasi studi, dan berada pada area penting di Kota Malang. Kampung Kauman yang merupakan permukiman penduduk dikelilingi oleh jalan primer satu arah. Lokasi studi ini berbatasan dengan (Gambar 3.3.) :
1.      Utara     : Jl. Arif Rahman Hakim
2.      Timur     : Jl. Merdeka Barat
3.      Selatan  : Jl. Kauman
4.      Barat     : Jl. Hasim Asyhari


Gambar 3. 3. Lokasi Penelitian

Kampung Kauman Kota Malang terletak pada area pusat kota, dengan fungsi kawasan didominasi oleh fungsi perdagangan. Permukiman ini berbentuk bujur sangkar, dengan fungsi perdagangan pada tepian keliling permukiman. Pada Kampung Kauman terdapat fungsi kawasan permukiman, perdagangan, peribadatan, pendidikan, dan perkantoran atau jasa. Fungsi perdagangan didominasi oleh ruko dengan kegiatan perdagangan yang bermacam – macam berupa barang dan jasa. Fungsi peribadatan yang terdapat pada Kampung Kauman terlihat menonjol oleh adanya Gereja Emanuel dan Masjid Jami’ yang berdiri berdampingan. Fungsi pendidikan terdapat pada area sekolah dasar di belakang Masjid Jami’, dan fungsi perkantoran berupa kantor pelayanan Bank Mandiri dan kantor pengacara (Gambar 3.4. dan 3.5.).

Gambar 3. 5. Fasilitas Eksisting Kawasan Kauman
Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang tahun 2010 – 2030, kawasan Kauman yang dekat dengan alun- alun sebagai pusat kota, merupakan fungsi vital kota, dengan pengembangan pelayanan primer berupa pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa, sarana olahraga, dan peribadatan. Pengembangan pelayanan sekunder  pada kawasan ini berupa fungsi pendidikan, fasilitas umum dan sosial, perdagangan dan jasa, perumahan serta ruang terbuka hijau. Kawasan ini juga direncanakan sebagai fungsi wisata, meliputi alun – alun Kota Malang, Masjid Jami’, dan kawasan Kauman.
Pada masa kependudukan Belanda, alun – alun merupakan pusat kota, dengan jajaran bangunan – bangunan kolonial.  Permukiman penduduk yang ada di sekitar alun – alun mengadaptasi bangunan dengan gaya kolonial  pada rumah tinggalnya, termasuk pada permukiman penduduk Kauman. Terkait dengan RTRW Kota Malang mengenai pengembangan fungsi Kauman sebagai wisata, dan bangunan eksisting rumah tinggal dengan langgam kolonial , penelitian ini membatasi bahasan tipologi pada fasade bangunan rumah tinggal dengan gaya arsitektur kolonial .
Pada kawasan ini terdapat 22 bangunan dengan fungsi rumah tinggal yang mengadaptasi gaya arsitektur kolonial dan masih berdiri hingga saat ini. Bangunan tersebut merupakan populasi dari penelitian, yang keseluruhannya ditarik menjadi sampel penelitian (Gambar 3.6.).

Gambar 3. 6. Sampel Penelitian

Nomor Sampel
Alamat Rumah
Sampel 1
Jl. Kauman I / 43
Sampel 2
Jl. A. R. Hakim V / 58
Sampel 3
Jl. A. R. Hakim V / 61
Sampel 4
Jl. Kauman II / 675
Sampel 5
Jl. A. R. Hakim 26
Sampel 6
Jl. A. R. Hakim III / 699
Sampel 7
Jl. Kauman II /
Sampel 8
Jl. A. R. Hakim
Sampel 9
Jl. Kauman II / 441
Sampel 10
Jl. Kauman II / 811
Sampel 11
Jl. Kauman II / 764
Sampel 12
Jl. Kauman II / 808
Sampel 13
Jl. Kauman II / 664
Sampel 14
Jl. Kauman II / 663
Sampel 15
Jl. A. R. Hakim IV / 730
Sampel 16
Jl. A. R. Hakim IV / 693 A
Sampel 17
Jl. A. R. Hakim IV / 703
Sampel 18
Jl. A. R. Hakim III / 742
Sampel 19
Jl. A. R, Hakim III / 741
Sampel 20
Jl. A. R. Hakim III / 851
Sampel 21
Jl. A.R. Hakim V / 609
Tabel 3. 1. Sampel Rumah Tinggal Kolonial Di Kauman

 DAFTAR PUSTAKA


Amiuza, C. 2006. Tipologi Rumah Tinggal Administratur P.G. Kebon Agung di Kabupaten Malang. Jurnal RUAS. IV (1): 1-22.
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset
Hersanti, N. J., et al. 2008. Tipologi Rancangan Pintu dan Jendela Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan Malang. Architecture e-journal, (I)3 : 157 – 171.
I Wayan Sudana dan I Wayan Seriyoga Parta, 2005, Bahan Ajar MK. Ornamen, Jurusan Teknik Kriya, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Gorontalo
Karisztia, A.D, et al. 2008. Tipologi Façade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan – Malang. Architecture e-journal, (I) 2 : 64 - 76
Krier, R. (1988). Architectural Composition. London: Academy Edition
Pertiwi, P. A., et al. 2009. Tipologi Ragam Hias Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Ngamarto – Lawang. Architecture e-journal, (II)1 : 1 - 20
Perwitasari, Hani, et al. 2009. Tipologi Wajah Bangunan Rumah Tinggal Kolonial di Ngamarto – Lawang. Architecture e-journal, (II)1 : 51 - 64
Sulistijowati. 1991. Tipologi Arsitektur Pada Rumah Kolonial Surabaya (Studi Kasus: Perumahan Plampitan dan sekitarnya). Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Fakultas Teknik dan Perencanaan ITS.
http://yogaparta.wordpress.com/2009/06/18/mengenal-ornamen/