PENDAHULUAN
Pada masa pra –
kolonial atau masa kerajaan Islam di Pulau Jawa, telah muncul satu bentuk
rencana tata kota, yang mengharuskan pembangunan suatu perkampungan di belakang
Masjid Agung (Santoso, 2011). Perkampungan ini merupakan tempat tinggal bagi
para santri. Penataan perkampungan di belakang Masjid Agung terdapat di hamper
seluruh kota – kota besar di Pulau Jawa. Perkampungan ini disebut dengan
Kauman. Kodiran (1995) menyebutkan, Kauman adalah nama sebuah perkampungan yang
terletak di sekitar Masjid Agung. Nama kauman berasal dari pa-kaum-an,
Pa=tempat, kaum dari kata Qoimuddin (penegak agama islam, jadi kauman adalah
tempat para penegak agama/para ulama.
Penataan kota yang
telah muncul sejak jaman pra – kolonial ini kemudian dilanjutkan oleh Belanda.
Pada saat Belanda menduduki kota – kota besar di Indonesia, mereka membentuk
rencana tata kota untuk memunculkan potensi dan keuntungan kota. Rencana tata
kota yang dibentuk oleh Belanda semasa kependudukannya, merujuk pada penataan
kota yang telah ada sebelumnya.
Kota Malang merupakan
salah satu kota yang merupakan bagian kekuasan kerajaan Islam di Jawa, yang
kemudian diduduki oleh Belanda. Rencana tata kota Malang pada masa kolonial
membagi permukiman penduduk kota menjadi blok – blok tertentu. Karsten, yang
merupakan arsitek kenamaan pada masa tersebut, merencanakan penataan permukiman
Kota Malang berdasarkan tata kota yang telah ada sebelumnya, dan etnis yang
ada. Orang Belanda tinggal di dekat pusat pemerintahan serta jalan-jalan yang
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Orang Cina yang sebagian besar merupakan
pedagang perantara tinggal disekitar pasar, yang disebut sebagai daerah
Pecinan, sedangkan orang Pribumi setempat tinggal di gang-gang disekitar daerah
alon-alon (Handinoto,1996).
Perkampungan Kauman
juga ditemukan di Kota Malang. Pada daerah alun – alun Kota Malang, berdiri
Masjid Agung atau yang dinamakan Masjid Jami’ dengan perkampungan penduduk di
belakangnya. Sama seperti kampung Kauman pada kota lain, kampung Kauman yang
ada di kota Malang identik dengan kegiatan keagamaan. Hal yang unik pada
Kampung Kauman Kota Malang adalah adanya Gereja Emanuel yang terletak
bersebelahan dengan Masjid Jami’. Pada perkampungan ini banyak ditemukan rumah
– rumah tinggal dengan bentuk bangunan kolonial, mengingat letak permukiman
yang dekat dengan pusat kota pada pemerintahan Belanda.
Rumah tinggal penduduk
Kampung Kauman mencirikan pribadi dan karakter pemiliknya. Bagian dari bangunan
yang dapat memunculkan karakter dan ditangkap oleh manusia adalah fasade
bangunan. Fasade merupakan bagian bangunan yang pertama kali ditangkap oleh
mata dan mencirikan langgam dan gaya arsitektur yang digunakan. Fasade memberikan
gambaran tentang fungsi- fungsi bangunan, selain itu fasade juga berfungsi
sebagai alat perekam sejarah peradaban manusia. dengan mengamati dan
mempelajari desain fasade suatu bangunan, kita bisa mempelajari kondisi sosial
budaya, kehidupan spiritual, bahkan keadaan ekonomi
dan politik pada masa tertentu. Fasade bangunan rentan terhadap perubahan
terkait dengan kondisi iklim dan kemajuan zaman.
Bentuk – bentuk fasade
bangunan juga berpengaruh terhadap kualitas visual kawasan maupun kota. Fasade
menjadi sangat penting, terkait dengan aspek keindahan yang ditangkap oleh
mata. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang yang akan
menjadikan Kauman sebagai kawasan berpotensi wisata, fasade bangunan rumah
tinggal yang ada merupakan aspek yang penting dan berpengaruh.
Penelitian ini membahas
mengenai tipologi fasade bangunan rumah tinggal di Kampung Kauman. Pada
tipologi bangunan yang ada, dimungkinkan adanya perubahan fasade yang terjadi,
sehingga aspek perubahan tersebut akan dibahas pula melalui pembahasan
morfologi fasade yang ada. Penelitian ini memberikan konrtibusi bagi
masyarakat, mengenai informasi tipologi fasade rumah tinggal Kampung Kauman,
sehingga masyarakat mengenal potensi kawasan yang dimiliki. Kontribusi ini
terkait pula dengan rencana pemerintah dalam pemanfaatan Kampung Kauman sebagai
kawasan pariwisata, dengan kekayaan arsitektur
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Tipologi
Tipologi adalah
studi tentang tipe.
Tipe adalah kelompok
dari objek yang
memiliki ciri khas struktur
formal yang sama. Tipologi
merupakan studi tentang pengelompokkan objek
sebagai model, melalui
kesamaan Bentuk dan
Struktur. Tipologi adalah
studi tentang tipe dengan
kegi atan kategorisasi dan
klasifikasi untuk menghasil kan
tipe. Kegiatan kategori
dan tipe tersebut sekali gus
dapat dilihat keragaman dan keseragamannya
(Iswati 2003: 124).
Tipologi
merupakan suatu konsep mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas
kemiripan sifat-sifat dasar yang berusaha memilah atau mengklasifikasikan
bentuk keragaman dan kesamaan jenis. Dalam hal ini, tipologi merupakan hasil
elaborasi karakteristik arsitektur, yang tersusun dari berbagai unsur kultural
lokal dan luar yang spesifik dalam suatu struktur klasifikasi, baik secara
klasifikasi fungsi, geometrik, maupun langgam/gaya (Amiuza 2006)
Menurut Sukada dalam Sulistijowati
(1991), ada tiga langkah dalam menetapkan suatu tipologi, yaitu sebagai
berikut: 1. Menetapkan bentuk-bentuk dasar yang ada dalam setiap pada objek
arsitektural; 2. Menentapkan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap objek
arsitektural berdasarkan bentuk dasar yang ada dan melekat pada objek
arsitektural tersebut; dan 3. Memahami proses perkembangan bentuk dasar tersebut sampai pada
perwujudannya saat ini.
2.1.2
Teori Tipo - morfologi
Tipomorfolgi adalah
metode untuk mengetahui
tpe-tipe arsitektural. Menurut Moudon (1994), tipomorfolgi adalah pendekatan untuk mengungkapkan
struktur fisik dan keruangan yang mana studi
tersebut merupakan gabungan dari studi tipologi
dan morfologi . Menurut Schultz
(1980) di konsepkan bahwa
tipomorfologi mendeskripsi
kan kelompok objek berdasarkan atas
kesamaan sifat -sifat dasar
yang berupa memilah
ataupun mengklasifikasi kan
bentuk keragaman dan kesamaan jenis
2.1.3
Tinjauan
mengenai Rumah Tinggal
Rumah tinggal adalah
sebagai mekanisme kehidupan. Menurut UU No. 40 Tahun 1992, Rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga; Rumah dipahami sebagai tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan,
beristirahat, melakukan aktivitas bersama keluarga. Rumah sebagai tempat
berlindung harus memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Rumah dibentuk dari
aktivitas penghuninya, dan menggambarkan bagaimana kepribadian manusia yang
menghuninya. Sebuah rumah bisa dibangun setidaknya dengan memiliki 4 fungsi,
yaitu
1. Sebagai tempat
tinggal yang nyaman ;
2. Sebagai sumber
ibadah ;
3. Sebagai sumber ilmu
; dan
4. Sebagai sumber
pendapatan.
Menurut
Rapoport dalam Sjaifoel (2008), rumah
merupakan suatu gejala struktural yang bentuk dan organisasinya sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budaya yang dimilikinya, serta erat hubungannya
dengan penghuninya. Rumah banyak ditentukan oleh nilai – nilai, budaya
penghuninya, iklim, dankebutuhan pelindung, bahan bangunan, konstruksi dan
teknologi, karakter tapak, ekonomi, pertahanan, serta agama.
2.1.4
Arsitektur
Kolonial Belanda
Menurut Akihari
(1990), Handinoto & Soehargo (1996), dan Nix (1994), bahwa arsitektur
kolonial Belanda terdiri atas dua periode, yaitu :
· Arsitektur
sebelum abad XVIII
· Arsitektur
setelah abad XVIII
Variasi komposisi muka bangunan ditunjukan pada
masing-masing gaya bangunan arsitektur kolonial Belanda yang ada di Hindia
Belanda pada umumnya ditentukan oleh elemen kepala bangunan berupa bentukan
atap dan penggunaan-penggunaan gevel.
Variasi pada badan bangunan lebih banyak ditemukan dan mengacu pada spesifikasi
gaya – gaya tertentu, antara lain kolom, jenis, dan material bukaan, detail
ventilasi, pembatas bangunan (serambi,pagar), maupun luifel atau teritis yang berfungsi sebagai shading.
Menurut
Nix (1953) dalam Yulia (2007:11-14),
gaya bangunan terdiri dari enam macam, yakni :
1. Indische Empire Style
Indische Empire Style, adalah
suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke 18 dan 19, sebelum
terjadinya “westernisasi” pada kota – kota di Indonesia di awal abad ke 20.
Pada mulanya gaya arsitektur tersebut muncul di daerah pinggiran kota Batavia,
sekitar pertengahan abad ke 17, tapi kemudian berkembang di daerah urban,
dimana banyak terdapat penduduk Eropa.
|
Arsitektur
kolonial yang berkembang di Indonesia pada abad ke – 18 sampai abad ke – 19
sering disebut dengan arsitektur Indische
Empire Style. Gaya ini merupakan hasil percampuran antara teknologi, bahan
bangunan dan iklim yang ada di Hindia Belanda dengan gaya Empire Style yang sedang berkembang di Perancis. Percampuran ini
sebagian besar memadukan gaya Indische
Empire beserta detail – detail bangunan yang berciri khas Neo Klasik dan
Art Neuveau, dengan dekorasi gaya Cina dengan ragam hias Arsitektur Jawa. Gaya
ini diperkenalkan di Indonesia pada jaman Gubernur Jenderal Herman Williem
Daendels (1808 – 1811).
Ciri – ciri umum gaya arsitektur Indische Empire Style yakni tidak bertingkat, atap perisai, berkesan
monumental, halamannya sangat luas, massa bangunannya terbagi atas bangunan
pokok / induk dan bangunan penunjang yang dihubungkan oleh serambi atau
gerbang, denah simetris, serambi muka dan belakang terbuka dilengkapi dengan
pilar batu tinggi bergaya Yunani (orde Corintian,
Ionic, Doric), antar serambi dihubungkan oleh koridor tengah, round-roman arch pada gerbang masuk atau
koridor pengikat antar massa bangunan, serta penggunaan lisplank batu bermotif
klasik di sekitar atap.
Tampak atau muka bangunan simetris mengikuti denah
bangunan yang simetris. Elemen muka bangunan yang memperkuat gaya bangunan Indische Empire Style ini antara lain
bentukan kolom dan material pembentuknya, detail bukaan pada entrance, serta detail pada atap.
Komposisi horizontal bangunan lebih kuat
dibandingkan vertikal bangunan, dengan proporsi void yang lebih besar dibanding
solid – nya.
2 Voor 1900
Gaya Voor ini
berkembang mulai awal tahun 1900, coraknya hampir sama dengan Indische Empire Style, tetapi mengalami
beberapa perubahan pada penggunaan bahan bangunan seperti besi dan terdapat
penambahan elemen – elemen yang bertujuan untuk lebih menyesuaikan dengan iklim
tropis Indonesia. Terdapat penambahan luifel
/ teritis yang terbuat dari seng gelombang dengan sudut kemiringan yang lebih
landai dan ditopang oleh konsol besi cor bermotif keriting, kolom kayu atau
besi cor berdimensi lebih kecil dan langsing dari kolom terdahulu, penambahan balustrade / pagar besi atau batu pada
bagian tengah dan tepi listplank atau variasi gevel di atas serambi muka.
3 NA
1900
Aliran ini dipengaruhi aliran romantis Eropa. Denah yang
masih simetris tidak mempengaruhi tampak muka bangunan. Tampak bangunan utama
mulai asimetri. Dilengkapi dengan serambi muka terbuka memanjang dengan kolom
sudah mulai menghilang / menyempit diganti dengan penonjolan denah sampai
bidang muka bangunan.
Muka bangunan menonjolkan elemen vernakular arsitektur
Belanda berupa gavel, luifel/teritis,
dan masih terdapat variasi mahkota batu pada ujung gavel dan tepi listplank
beton, dan masih terdapat balustrade.
4 Romantiek
Corak arsitektur NA
1900 dengan pengaruh romantik Eropa yang semakin kuat. Penambahan detail
dekoratif kaya pada hampir seluruh bagian bangunan dan elemen ruang luar.
Elemen bangunan yang membentuk muka bangunan yang
membedakan dengan gaya bangunan kolonial yang lain antara lain adanya
penambahan dentils, brackets, dan/atau
modillions pada bagian bawah atap,
penambahan cresting, finial, weathervane,
dan/atau balustrade pada bubungan
atap serta penambahan pada bagian bangunan yang lain. Ciri – ciri utama adalah
banyaknya penggunaan lengkung, bentuk atap tinggi (kemiringan antara 45o-60o)
dengan penutup genting.
Komposisi bangunan gaya romantiek
ini lebih kuat pada vertikal bangunan, sehingga kesan bangunan menjadi tinggi.
5 Gaya
tahun 1915 – an,
Ciri – ciri utama pada gaya yang nampak pada muka bangunan
antara lain penggunaan plat beton sebagai atap pada teritis – teritis dan
koridor penghubung, adanya bidang bouvenlicht
di antara garis atap utama dan badan bangunan, elemen dari besi cor semakin
berkurang, variasi mahkota atap terbatas pada bagian ujung pertemuan bubungan
dan jurai, atap tinggi berpenutup genting, serta penambahan elemen vernakular
Belanda seperti penambahan satu atau dua tower
beratap yang menempel pada bagian muka bangunan utama dan ada pula yang
menggunakan dormer-dormer atau bukaan
lain seperti tower yang terletak
menonjol pada kemiringan atap utama bangunan dan memiliki atap tersendiri.
6 Tahun
1930 – an.
Gaya ini terpengaruh aliran arsitektur modern yang berkembang
di Belanda seperti Amsterdam School dan
De Stijl, yang keduanya memiliki
konsep yang berbeda. Amsterdam school
menitik beratkan pada orisinalitas dan alamiah, peranan arsitektur vernakular
masih cukup besar. De stijl menitik
beratkan pada fungsi.
Ciri – ciri umum Amsterdam
school adalah bangunan terbuat dari bahan dasar alam dan menghasilkan
bentukan masif dan plastis, ornamentasi skulptural dan pembedaan warna material
beragam mempunyai peran esensial dalam desain, bentuk atap lebih runcing (sudut
kemiringan antara 45o-60o).
Ciri – ciri De stijl
adalah permainan volume bangunan berbentuk kubus, bahan dasar pabrikasi, gavel
horizontal tanpa dekorasi serta lepas dari permainan warna.
Gaya bangunan 1930-an ini membentuk muka bangunan yang
lebih sederhana dibandingkan dengan gaya bangunan yang ada sebelumnya.
Komposisi elemen vertikal bangunan masih lebih banyak pada bagian kepala
bangunan, sedangkan elemen horisontal bangunan yang dipengaruhi oleh denah
terlihat moduler. Detail muka bangunan tidak terlalu dominan pada gaya bangunan
ini.
2.1.5
Perkembangan Arsitektur Kolonial
Belanda di Malang tahun 1914-1940
Secara
garis besar perkembangan arsitektur kolonial di Malang tidak berbeda dengan
perkembangan arsitektur di Hindia Belanda pada kurun waktu yang sama.Gaya
arsitektur yang disebut sebagai ”Indische Empire” yang berkembang sampai
akhir abad ke 19, juga terdapat di Malang, terutama sekali pada gedung-gedung
pemerintahan seperti gedung Asisten Residen di alon-alon pusat kota Malang
(sekarang
sudah hancur). Hanya saja sebelum tahun 1900 an Malang masih merupakan sebuah
kota kabupaten kecil, sehingga bangunan pemerintahan tidak begitu banyak
disana. Oleh sebab itu peninggalan arsitektur dengan gaya ”Indische Empire”
ini sekarang sangat jarang dijumpai di Malang. Walaupun ada, tempatnya harus
dicari di daerah sekitar alon-alon kota, karena disanalah dulu merupakan inti
kota Malang dimasa lalu. Sekarang daerah disekitar alon-alon kota justru
merupakan daerah yang punya nilai ekonomi yang tinggi, sehingga otomatis juga
merupakan suatu daerah yang cepat berkembang/berubah. Sayang sekali karena
hal-hal diatas maka asitektur dengan gaya ”Indische Empire” ini di
Malang sekarang boleh dikatakan sudah tidak tersisa sama sekali
Hampir
semua bangunan kolonial yang tersisa di Malang sekarang dibangun setelah tahun
1900 (sebagian besar dibangun setelah tahun 1920 an selaras dengan perkembangan
kotanya)., yang diistilahkan sebagai arsitektur kolonial modern.Arsitektur
kolonial yang cukup besar, yang dibangun setelah tahun 1900 di Malang.
Bentuk
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan bentuk
yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern
yang berkembang di Belanda pada jaman yang bersamaan dengan iklim tropis basah
Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang
mengambil elemen-el9emen tradisional setempat, yang kemudian
diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk yang khas yang
berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri (Trianingrum
2006:24).
Handinoto
(1996: 163) menyebutkan bahwa,bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia
sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan
hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di B elanda pada waktu
yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga
beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen
tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya.
Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah
suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda
sendiri.
Perkembangan gaya bangunan yang pada era ini,
mencapai puncaknya pada 1915-an, akan tetapi masih banyak sekali elemen dari
bangunan-bangunan era sebelumnya, yang digunakan sebagai elemen wajah bangunan
dari era ini, seperti penggunaan gable/gevel, jenis, bahan, maupun
ornamen dari era sebelumnya. Kemudian yang menonjol pada era ini adalah
bentukan atap tradisional, yang menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan
kolonial dengan budaya lokal.
Sebagian
besar bangunan umum sebelum th. 1920 an kebanyakan dibangun disekitar
alon-alon, karena pusat kotanya masih terletak disana. Jumlahnya tidak terlalu
banyak karena kota Malang masih belum mengalami perkembangan yang pesat. Gaya
arsitektur ”Indische Empire” pada tahun-tahun ini sudah menghilang
2.1.5 Defenisi Fasade
Bangunan
Fasade merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu
menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan (Krier, 1988: 122). Fasade bukan
hanya menyangkut bagaimana cara untuk medapatkan “persyaratan alami‟ yang ditentapkakan oleh
organisasi dan ruang dibaliknya. Fasade menyampaikan keadaan budaya saat
bangunan itu dibangun; fasade mengungkap kriteria tatanan dan penataan, dan
berjasa memberikan kemungkinan dan kreativitas dalam ornamentasi dan dan
dekorasi.
Akar kata
„fasade‟ (façade) diambil dari kata latin „facies’ yang merupakan sinonim dari „face’ (wajah)
dan „appearance’ (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan wajah sebuah
bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang menghadap
jalan.
Sebagai
suatu keseluruhan, fasade tersusun dari elemen tunggal, suatu kesatuan
tersendiri dengan kemampuan untuk mengekspresikan d iri mereka sendiri.
Elemen-elemen tersebut- alas, jendela, atap dan sebagainya -karena sifat
alaminya merupakan benda-benda yang berbeda sehingga memiliki bentuk, warna dan
bahan yang berbeda (Krier, 1988: 123).
2.
Komponen Fasade
Fasade
adalah representasi atau ekspresi dari berbagai aspek yang muncul dan dapat
diamati secara visual. Dalam konteks arsitektur kota, fasade bangunan tidak
hanya bersifat dua dimensi saja akan tetapi bersifat tiga dimensi yang dapat
merepresentasikan masing-masing bangunan tersebut dalam kepentingan publik
(kota) atau sebaliknya. Untuk itu komponen fasade bangunan yang diamati
meliputi: Krier (1983: 61 – 66).
a. Gerbang dan Pintu Masuk (Entrance)
Saat
memasuki sebuah bangunan dari arah jalan, seseorang melewati berbagai gradasi
dari sesuatu yang disebut “publik”. Posisi jalan masuk dan makna arsitektonis
yang dimilikinya menunjukan peran dan fungsi bangunan tersebut. Pintu masuk
menjadi tanda transisi dari bagian publik (eksterior) ke bagian privat
(interior). Pintu masuk adalah elemen pernyataan diri dari penghuni bangunan.
Terkadang posisi entrance memberi peran dan fungsi demonstratif terhadap
bangunan. Lintasan dari gerbang ke arah bangunan membentuk garis maya yang
menjadi datum dari gubahan. Di sini dapat diamati apakah keseimbangan yang
terjadi merupakan simetri mutlak atau seimbang secara geometri saja.
b. Zona Lantai Dasar
Zona lantai dasar merupakan elemen
urban terpenting dari fasade. Alas dari sebuah bangunan, yaitu lantai dasarnya,
merupakan elemen perkotaan terpenting dari suatu fasade. Karena berkaitan
dengan transisi ke tanah, sehingga pemakaian material untuk zona ini harus
lebih tahan lama dibandingkan dengan zona lainnya.Lantai dasar memiliki suatu
makna tertentu dalam kehidupan perkotaan. Karena daerah ini merupakan bagian
yang paling langsung diterima oleh manusia, seringkali lantai dasar menjadi
akomodasi pertokoan dan perusahaan-perusahaan komersil lainnya.
c. Jendela dan pintu masuk ke
bangunan.
Jendela dan pintu dilihat sebagai
unit spasial yang bebas. Elemen ini memungkinkan pemandangan kehidupan urban
yang lebih baik, yaitu adanya bukaan dari dalam bangunan ke luar bangunan.
Fungsi jendela sebagai sumber cahaya bagi ruang interior, yaitu efek penetrasi
cahaya pada ruang interior. Jendela juga merupakan bukaan bangunan yang
memungkinkan pemandangan dari dan ke luar bangunan. Selain memenuhi kebutuhan
fungsionalnya, jendela juga dapat menjadi elemen dekoratif pada bidang dinding.
Pintu memainkan peran yang
menentukan dalam konteks bangunan, karena pintu mempersiapkan tamu sebelum
memasuki ruang, karena itu makna pintu harus dipertimbangkan dari berbagai
sudut pandang (Krier, 1988 : 96). Kegiatan memasuki ruang pada sebuah bangunan
pada dasarnya adalah suatu penembusan dinding vertikal, dapat dibuat dengan
berbagai desain dari yang paling sederhana seperti membuat sebuah lubang pada
bidang dinding sampai ke bentuk pintu gerbang yang tegas dan rumit
Posisi pintu pada sebuah bangunan
sangat penting untuk lebih mempertegas fungsi pintu sebagai bidang antara ruang
luar dan ruang dalam bangunan. Karena letak atau posisi sebuah pintu sangat
erat hubungannya dengan bentuk ruang yang dimasuki, dimana akan menentukan
konfigurasi jalur dan pola aktivitas di dalam ruang.
d. Pagar Pembatas (railling)
Suatu
pagar pembatas (railling) dibutuhkan
ketika terdapat bahaya dalam penggunaan ruangan. Pagar pembatas juga merupakan pembatas fisik yang digunakan
jika ada kesepakatan-kesepakatan sosial mengenai penggunaan ruang.
e. Atap dan Akhiran Bangunan.
Ada 2 macam tipe atap: yaitu tipe
atap mendatar dan atap (face style) yang lebih sering dijumpai yaitu tipe atap
menggunung ( alpine style). Atap adalah bagian atas dari bangunan. Akhiran atap
dalam konteks fasade di sini dilihat sebagai batas bangunan dengan langit.
Garis langit (sky-line) yang dibentuk oleh deretan fasade dan sosok
bangunannya, tidak hanya dapat dilihat sebagai pembatas, tetapi sebagai obyek
yang menyimpan rahasia dan memori kolektif warga penduduknya.
f. Ornamen pada Fasade.
Ornamen merupakan kelengkapan visual sebagai unsur estetika pada fasade
bangunan. Ornamentasi pada fasade, selain sebagai unsur dekoratif bangunan juga
meruapakan daya tarik Ornamen
Ornamen adalah salah satu karya seni
dekoratif yang biasanya dimanfaatkan untuk menambah keindahan suatu benda atau
produk, atau merupakan suatu karya seni dekoratif (seni murni) yang berdiri
sendiri, tanpa terkait dengan benda/produk fungsional sebagai tempatnya
2.2 Metode Penelitian
Studi yang dilakukan
ini secara umum menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan
tipologi. Pendekatan tipologi ini dipakai untuk mengklasifikasikan objek ke
dalam tipe tertentu. Objek studi yang diambil, yaitu rumah tinggal kolonial
Belanda di Kauman, yang dibangun pada periode masa penjajahan Belanda. Lokasi
studi berada di perkampungan kota yang terdapat di kecamatan Klojen
Metode Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan menelusuri history masa lalu pemukiman kauman di Kota
Malang. dimana penelitian kualitatif dengan pendekatan historis merupakan
penelaahan dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa
lampau dan dilaksanakan secara sistematis (Arikunto, 2003, p. 332)
2.2.1. Penentuan
Populasi Dan Lokasi Sampel
1.
Populasi
Sampel Penelitian
Populasi di tentukan berdasarkan pembatasan bahwa
lokasi penelitian merupakan kawasan di mana ada kumunitas Kauman hidup dengan
segala aktifitas sehari- hari dengan demikian populasi ini di batasi meliputi
areal pemukiamannya saja yang terletak di kecamatan.Klojen. jumlah populasi
yang ada di kauman adalah 279
2. Sampel
Penelitian
Pengambilan sampel pada
penelitian ini adalah Non Probabilitas dengan teknik pengambilan sampel
purposif (purposial sampling) dimana sumber sampel akan ditentukan terlebih
dahulu dengan pertimbangan dibutuhkan data yang lebih bervariatif.dalam
penentuan sampel pada pemukiman kauman di malang yaitu mengkaji mengenai
bangunan Kolonial yang ada di malang khususnya di kauman pada periode tahun
1914-1940. jumlah sampel yang di ambil adalah berjumlah 22
adapun kriteria
pengambilan sampel adalah :
a. Penghuni
adalah pemilik rumah tersebut
b. Masyarakat
sekitar sampel
c. Key
Person
d. Penelitian
Terdahulu
2.2.2. Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam
penelitian ini adalah elemen-elemen fasade bangun yang dapat di cermati secara
visual elemen-elemnen ini terdiri dari :
a.
Atap dan Akhiran
b.
Jendela Pintu
c.
Zona Lantai Dasar
d.
Ornamen
BAB
III
GAMBARAN
UMUM WILAYAH STUDI
3.1 Sejarah Kota Malang
Kota Malang merupakan
salah satu daerah yang memperoleh pengaruh yang cukup besar pada masa
kependudukan Belanda di Indonesia. Pada masa kependudukan Belanda di Kota
Malang, diterbitkan Undang-undang Gula (suikerwet),
Undang-undang Agraria (agrarischewet),
dan keputusan desentralisasi yang membantu Kota Malang untuk melakukan
pembangunan secara besar-besaran dan mengubah Kota Malang sebagai kotamadya
setelah sebelumnya berstatus kabupaten. Rencana perkembangan Kota Malang ini
didukung pula oleh seorang perencana kota kenamaan pada masa tersebut yaitu Ir.
Herman Thomas Karsten.
Selama masa
pengembangan kota tersebut, Bangsa Belanda tetap mendominasi berbagai aspek
pemerintahan, industri, perdagangan, dan pertahanan. Dengan didasarkan pada
rencana pengembangan kota oleh Karsten, Alun-alun diletakkan sebagai pusat
kota, yang juga merupakan civic centre. Pusat kontrol pemerintahan dibangun di
sekitar alun-alun. Pola permukiman terbentuk di sekitar alun-alun menurut
pengelompokan masyarakat.
Di Kota Malang, pola
pengelompokkan diterbitkan oleh pembangunan daerah perumahan yang didasarkan
pada kelompok etnis yang ada. Bangsa Belanda yang ada di Kota Malang tinggal di
dekat pusat pemerintahan serta jalan-jalan yang mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi. Orang Cina yang ada di Kota Malang yang sebagian besar merupakan
pedagang tinggal di sekitar pasar, yang disebut sebagai daerah Pecinan. Dan
orang pribumi setempat tinggal di gang-gang skitar alun-alun (Handinoto,1996). Pola
penyebaran permukiman di Malang sampai tahun 1914 adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang1914-1939) :
1.
Daerah permukiman orang Eropa terletak
di sebelah Barat Daya dari alun – alun Talun, Tongan, Sawahan, dan
sekitarnya.Selain itu juga terdapat di sekitar Kayutangan, Oro – oro Dowo,
Celaket, Klojen Lor, dan Rampal.
2.
Daerah permukiman orang Cina terdapat di
sebelah tenggara dari alun – alun (sekitar Pasar Besar). Daerah orang Arab di
sekitar mesjid.
3.
Daerah orang pribumi kebanyakan
menempati daerah kampung sebelah selatan alun – alun, yaitu daerah kampung
Kebalen, Penanggungan, Jodipan, Talun, dan Klojen Lor.
4.
Daerah militer terletak di sebelah timur
daerah Rampal.
Dalam
perkembangan Kota Malang pada masa kependudukan Belanda, Kota Malang mengalami
perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya rencana perkembangan
kota (Bouwplan) yang merngarah pada
pengendalian bentuk kota yang merujuk pada upaya perluasan. Rencana
pengembangan ini terdiri dari 8 tahapan yang dilaksanakan dalam kurun waktu 15
tahun. Pada setiap tahapan pengembangan ini, sasaran pengembangan ditujukan
secara pada masing – masing aspek pembangunan kota.
Pada
tahapan Bouwplan I, pengembangan
diarahkan pada pembangunan perumahan bagi golongan orang Eropa pada daerah
Rampal dan Celaket. Pada tahapan Bouwplan
II, pengembangan diarahkan pada pembentukan pusat pemerintahan baru di
kawasan Tugu Malang. Pada tahapan Bouwplan
III, pengembangan dilakukan pada pembuatan kompleks permukiman masyarakat
Eropa di Kota Malang. Pada tahapan Bouwplan
IV, pengembangan dilakukan pada pembangunan perumahan untuk masyarakat
kelas menengah ke bawah. Pada tahapan Bouwplan
V, penngembangan diarahkan pada perluasan kawasan perumahan masyarakat
Eropa di Kota Malang. Pada tahapan Bouwplan
VI, pengembangan dilakukan pada perataan perluasan kota. Pada tahapan Bouwplan VII, pengembangan dilakukan
dengan pembangunan lanjutan bouwplan V.
Dan pada tahapan Bouwplan VIII, pengembangan
diarahkan pada penyediaan kawasan industri Kota Malang (Gambar 3.1.) .
(Bouwlpan
I s/d VII, yang dimulai dari tahun 1917 – 1935)
Sumber :
Handinoto (1996)
3.2 Kampung Kauman, Malang
Kawasan objek
penelitian terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen Kota Malang, atau
biasa disebut Kauman. Kawasan ini dekat dengan alun – alun, yang merupakan
pusat Kota Malang. Kampung Kauman merupakan permukiman penduduk yang unik,
dengan lokasi yang selalu berada di belakang Masjid Agung.
Gambar 3.2 Lokasi wilayah Penelitian |
Kampung Kauman terpilih
sebagai lokasi studi, dan berada pada area penting di Kota Malang. Kampung
Kauman yang merupakan permukiman penduduk dikelilingi oleh jalan primer satu
arah. Lokasi studi ini berbatasan dengan (Gambar 3.3.) :
1. Utara : Jl. Arif Rahman Hakim
2. Timur : Jl. Merdeka Barat
3. Selatan : Jl. Kauman
4. Barat : Jl. Hasim Asyhari
Gambar 3. 3. Lokasi Penelitian
Kampung Kauman Kota
Malang terletak pada area pusat kota, dengan fungsi kawasan didominasi oleh
fungsi perdagangan. Permukiman ini berbentuk bujur sangkar, dengan fungsi
perdagangan pada tepian keliling permukiman. Pada Kampung Kauman terdapat
fungsi kawasan permukiman, perdagangan, peribadatan, pendidikan, dan
perkantoran atau jasa. Fungsi perdagangan didominasi oleh ruko dengan kegiatan
perdagangan yang bermacam – macam berupa barang dan jasa. Fungsi peribadatan
yang terdapat pada Kampung Kauman terlihat menonjol oleh adanya Gereja Emanuel
dan Masjid Jami’ yang berdiri berdampingan. Fungsi pendidikan terdapat pada
area sekolah dasar di belakang Masjid Jami’, dan fungsi perkantoran berupa
kantor pelayanan Bank Mandiri dan kantor pengacara (Gambar 3.4. dan 3.5.).
Gambar 3. 5. Fasilitas Eksisting Kawasan
Kauman
Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
tahun 2010 – 2030, kawasan Kauman yang dekat dengan alun- alun sebagai pusat
kota, merupakan fungsi vital kota, dengan pengembangan pelayanan primer berupa
pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa, sarana olahraga, dan
peribadatan. Pengembangan pelayanan sekunder
pada kawasan ini berupa fungsi pendidikan, fasilitas umum dan sosial,
perdagangan dan jasa, perumahan serta ruang terbuka hijau. Kawasan ini juga
direncanakan sebagai fungsi wisata, meliputi alun – alun Kota Malang, Masjid
Jami’, dan kawasan Kauman.
Pada masa kependudukan
Belanda, alun – alun merupakan pusat kota, dengan jajaran bangunan – bangunan
kolonial. Permukiman penduduk yang ada
di sekitar alun – alun mengadaptasi bangunan dengan gaya kolonial pada rumah tinggalnya, termasuk pada
permukiman penduduk Kauman. Terkait dengan RTRW Kota Malang mengenai
pengembangan fungsi Kauman sebagai wisata, dan bangunan eksisting rumah tinggal
dengan langgam kolonial , penelitian ini membatasi bahasan tipologi pada fasade
bangunan rumah tinggal dengan gaya arsitektur kolonial .
Pada kawasan ini
terdapat 22 bangunan dengan fungsi rumah tinggal yang mengadaptasi gaya
arsitektur kolonial dan masih berdiri hingga saat ini. Bangunan tersebut
merupakan populasi dari penelitian, yang keseluruhannya ditarik menjadi sampel
penelitian (Gambar 3.6.).
Gambar 3. 6. Sampel Penelitian
Nomor Sampel
|
Alamat Rumah
|
Sampel
1
|
Jl. Kauman I / 43
|
Sampel
2
|
Jl. A. R. Hakim V / 58
|
Sampel
3
|
Jl. A. R. Hakim V / 61
|
Sampel
4
|
Jl. Kauman II / 675
|
Sampel
5
|
Jl. A. R. Hakim 26
|
Sampel
6
|
Jl. A. R. Hakim III / 699
|
Sampel
7
|
Jl. Kauman II /
|
Sampel
8
|
Jl. A. R. Hakim
|
Sampel
9
|
Jl. Kauman II / 441
|
Sampel
10
|
Jl. Kauman II / 811
|
Sampel
11
|
Jl. Kauman II / 764
|
Sampel
12
|
Jl. Kauman II / 808
|
Sampel
13
|
Jl. Kauman II / 664
|
Sampel
14
|
Jl. Kauman II / 663
|
Sampel
15
|
Jl. A. R. Hakim IV / 730
|
Sampel
16
|
Jl. A. R. Hakim IV / 693 A
|
Sampel
17
|
Jl. A. R. Hakim IV / 703
|
Sampel
18
|
Jl. A. R. Hakim III / 742
|
Sampel 19
|
Jl. A. R, Hakim III / 741
|
Sampel 20
|
Jl. A. R. Hakim III / 851
|
Sampel 21
|
Jl. A.R. Hakim V / 609
|
Tabel
3. 1. Sampel Rumah Tinggal Kolonial Di Kauman
DAFTAR
PUSTAKA
Amiuza, C. 2006. Tipologi Rumah Tinggal Administratur
P.G. Kebon Agung di Kabupaten Malang. Jurnal RUAS. IV (1): 1-22.
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur
Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya
dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset
Hersanti, N. J., et al. 2008. Tipologi Rancangan Pintu
dan Jendela Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan Malang. Architecture e-journal,
(I)3 : 157 – 171.
I Wayan Sudana dan I Wayan Seriyoga Parta, 2005,
Bahan Ajar MK. Ornamen, Jurusan Teknik Kriya, Fakultas Teknik, Universitas
Negeri Gorontalo
Karisztia, A.D, et al. 2008. Tipologi Façade Rumah
Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan – Malang. Architecture e-journal, (I) 2 : 64 - 76
Krier, R. (1988). Architectural Composition.
London: Academy Edition
Pertiwi, P. A., et al. 2009. Tipologi Ragam Hias
Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Ngamarto – Lawang. Architecture e-journal, (II)1 : 1 - 20
Perwitasari, Hani, et al. 2009. Tipologi
Wajah Bangunan Rumah Tinggal Kolonial di Ngamarto – Lawang. Architecture e-journal,
(II)1 : 51 - 64
Sulistijowati.
1991. Tipologi Arsitektur Pada Rumah Kolonial Surabaya (Studi Kasus: Perumahan
Plampitan dan sekitarnya). Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan.
Surabaya: Fakultas Teknik dan Perencanaan ITS.
http://yogaparta.wordpress.com/2009/06/18/mengenal-ornamen/